warriorweeknow, Jakarta Konsep keberlanjutan bergema di dunia seni, khususnya di bidang fashion. Desainer Dwi Iskandar menjelaskan, belakangan ini banyak orang yang mulai memperhatikan fashion, namun banyak yang belum memahami detailnya.
Jika berbicara tentang fashion, orang sering menyebut eco-print atau bahan alami. Berkaca dari pengalamannya, Dewi Iskandar mengaku tidak bisa menghindari penggunaan bahan yang 100 persen buruk. Kuncinya ada pada prosesnya, termasuk orang-orang yang bekerja dengan Anda.
Dalam wawancara virtual baru-baru ini dengan Showbiz warriorweeknow, Dwi Iskandar mengatakan banyak tantangan dalam meraih kesuksesan. Salah satunya adalah pemanfaatan zero waste dalam produksi produk fashion untuk dipamerkan kepada masyarakat.
“Misalnya saya membawa koleksi sendiri dengan memanfaatkan produk limbah. Untuk zero waste itu sulit karena saya harus memangkas banyak orang yang tidak suka kalau bicara zero waste. “Saya menggunakan bahan daur ulang dan daur ulang sebagai fashion item yang saya buat,” ujarnya.
Konsep fashion bisa dimulai dari langkah kecil. Dwi Iskandar kemudian mengenang saat seorang pelanggan atau tetangga datang ke tokonya meminta bantuan untuk memperbaiki baju yang berlubang. Awalnya, dia merasa tidak nyaman. Perlahan, Dwi Iskandar menjawab baik.
“Setelah saya menontonnya, saya mendukungnya. “Ada pojok depan toko lama saya yang sudah tidak berfungsi lagi, seperti model atau barang antik, tapi ada beberapa detail yang saya ubah,” kata Dwi Iskandar menanggapi strategi berkelanjutan Patchwork.
“Sebenarnya fashion show saya (di Apoorva Kempinski Bali Juni 2024) punya beberapa koleksi yang bukan barang baru,” jelasnya panjang lebar.
Dwi Iskandar mengajak masyarakat tidak sabar untuk memberikan tampilan baru tanpa menghilangkan karakter gaun lama. Belakangan ini kerap mengajak pelanggan atau pecinta fashion untuk merestorasi pakaian lama dengan menambahkan lebih banyak detail agar terlihat baru.
Dwi Iskandar meyakini, ramah lingkungan bisa dimulai dari hal kecil. Salah satunya adalah berkreasi dengan baju-baju bekas. Hal itu diungkapkannya saat menjadi pembicara dalam konferensi pers virtual bertajuk “The Amazing Kempinski Bali – The Road to Great Growth”.
“Jika Anda memiliki pakaian bekas, menurut Anda apa yang akan Anda lakukan dengannya? Maka kami mengajak Anda untuk berkreasi dengan menambahkan detail-detail tersebut agar semakin cantik dan baru.” Inilah saatnya kita mencoba lagi untuk melihat sesuatu yang berbeda. kata Dwi Iskandar.
Saat itu, Chief Marketing Officer Apurva Kempinski Bali, Melody Siagian menjelaskan, cara mencapai pertumbuhan yang baik sejalan dengan kuatnya kampanye Indonesia tahun lalu yang mengundang seniman dari daerah termasuk pencipta lokal.
“Kami selalu menampilkan karya desainer lokal, dan mempromosikannya melalui iklan dan cerita, termasuk visi dan misi kami, misalnya mempromosikan adat budaya Indonesia,” jelas Melody Siagian.
Misalnya, jika tamu datang ke Apurva Kempinski Bali, mereka akan bertemu dengan perwakilan lobi yang mengenakan pakaian adat dari Sumatera hingga Papua yang produknya berganti setiap dua bulan sekali. Pihaknya telah berkolaborasi dengan desainer lokal Dwi Iskandar.
Untuk red lady, Melody Siagian dan timnya menggandeng desainer lokal Torang Sitorus dan Franklin Firdaus. Komitmen untuk mempromosikan fashion lokal akan lemah. Selain seni, Apoorva Kempinski juga terkait dengan aspek sosial dan budaya Bali.
“Kami perjuangkan warisan Indonesia. Kemarin kami umumkan kesenian Gawai Dayak Festival 2024 untuk melestarikan budaya Kalimantan. Untuk masalah sosial, kami menggandeng Politeknik Negeri Bali dan Sumba Hospitality Foundation,” tutupnya.