warriorweeknow, Jakarta Suku Badui merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia, apalagi karena memegang nilai-nilai budaya dan adat istiadat nenek moyang yang sangat kuat. Kawasan tempat tinggal suku Badui bahkan telah terdaftar sebagai Kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng milik pemerintah.
Suku Badui terbagi menjadi dua golongan, yaitu suku Badui luar dan suku Badui dalam. Perbedaan keduanya sangat jelas terlihat, dimana suku Badui sudah sedikit berbaur dengan masyarakat luar, bahkan dengan teknologi modern seperti elektronik dalam beberapa hal. Sedangkan suku Badui dalam tetap mempertahankan tradisi dan aturan yang konservatif, menjaga keaslian budayanya dengan tidak menggunakan teknologi, mobil, dan memastikan tidak terjadi perkawinan dengan orang luar suku Badui.
Kehidupan yang terisolasi dari dunia luar ini merupakan upaya untuk menjaga keaslian budaya mereka. Berikut fakta menarik suku Badui di pedalaman Banten yang dirangkum warriorweeknow dari berbagai sumber, Kamis (20/6/2024).
Seperti halnya masyarakat di luar Baduy, masyarakat Baduy meyakini Nabi Adam adalah nenek moyang pertama mereka. Menurut kepercayaan mereka, Nabi Adam dan masyarakat Badui mempunyai tugas spiritual untuk menjaga keharmonisan dunia melalui asketisme atau mandita.
Sejarah suku Badui juga tidak terlepas dari keberadaan kerajaan Pajajaran pada abad ke-11 dan ke-12. Kerajaan ini menguasai sebagian besar Banten, Bogor, Priangan dan Cirebon. Pada masa ini, penguasanya adalah Prabu Bramaiya Maisaandraman atau Prabu Silivangi. Dengan masuknya agama Islam pada abad ke-15 yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan Sunan Gunung Jati, salah satu Songo Lembah Cirebon, maka kekuasaan kerajaan Pajajaran mulai merosot akibat banyaknya penduduk yang keluar masuk Islam.
Beberapa raja, Senopati dan para pengikutnya kemudian meninggalkan Kerajaan Pajajaran dan memutuskan untuk menetap di gurun pasir di sebelah selatan, mengikuti aliran sungai. Keturunannya masih tinggal di desa Sibeo, tempat tinggal suku Badui Dalm. 2. Perjodohan adat
Suku Badui masih melaksanakan pernikahan adat, dimana orang tua menjodohkan anaknya dengan anak muda Badui. Ketika seorang gadis mencapai usia 14 tahun, orang tuanya segera mencari pasangan dari suku Badui dalam. Namun orang tua laki-laki di Baduy Dalam mempunyai kebebasan dalam memilih pasangan yang cocok untuk anaknya. Namun ada beberapa kasus orang luar Badui menikah dengan orang di luar suku Badui. 3. Cita-cita sederhana
Suku Badui mempunyai cita-cita yang sangat sederhana dan mulia. Mereka tidak mempunyai ambisi yang besar, namun hanya berharap dapat membantu orang tuanya dalam bertani. Hal ini mencerminkan kuatnya nilai kesederhanaan dan pengabdian kepada keluarga dalam budaya mereka.
Suku Badui mempunyai seorang kepala adat bernama Pu’un yang mempunyai kedudukan yang sangat dihormati di masyarakatnya. Pu’un mempunyai kewenangan dalam pengaturan kegiatan pertanian seperti penanaman dan pemanenan. Selain itu, ia juga bertugas mengobati penyakit suku Badui. Hanya sebagian warga yang diperbolehkan bertemu, hal ini menunjukkan pentingnya posisi tersebut dalam struktur sosial dan budaya Badui. 5. Larangan berkunjung pada saat Kavalu
Kalalu merupakan tradisi puasa yang dilakukan suku Badui selama satu hingga tiga bulan berturut-turut. Pada masa Kawalu, masyarakat Badui pedalaman melarang orang luar memasuki wilayahnya. Faktanya, hanya orang yang lupa saja yang bisa masuk ke Badoo di luar dan mereka tidak diperbolehkan bermalam. Mereka percaya bahwa Kavalu adalah kegiatan suci yang harus dilakukan tanpa campur tangan pihak luar. Selama puasa ini, mereka juga memanjatkan doa untuk leluhur mereka. 6. Ayam adalah makanan mewah
Meski ayam merupakan makanan umum bagi sebagian besar masyarakat, bagi suku Badui pedalaman, ayam dianggap sebagai makanan mewah. Mereka hanya makan ayam sebulan sekali atau saat upacara adat. Hal ini menunjukkan nilai-nilai kesederhanaan dan penghargaan terhadap sumber daya alam yang tersedia bagi mereka.
Suku Badui mempunyai aturan yang ketat mengenai pakaiannya. Mereka hanya bisa menggunakan dua warna primer, yaitu hitam dan putih. Badui Luar biasanya memakai warna hitam, sedangkan Badui Dalam selalu memakai warna putih. Selain itu, masyarakat Badui luar juga bisa menggunakan warna biru tua yang mempunyai arti kesederhanaan. Penggunaan warna ini memiliki makna simbolis yang mendalam bagi masyarakat Badui, menandakan jati diri, kesucian dan ketaatan terhadap adat istiadat nenek moyang.
Aturan ketat Badui lainnya adalah larangan memakai alas kaki, termasuk sandal atau sendal. Hal ini berlaku bagi semua orang, termasuk masyarakat Badui luar ketika melakukan perjalanan ke luar desa. Namun kondisi lingkungan perkampungan Badui masih sangat alami dan aman untuk dijinakkan sehingga nyaman tanpa alas kaki. 8. Masih menganut agama nenek moyangnya
Suku Badui masih menganut kepercayaan leluhurnya yang dikenal dengan ajaran Sunda Vivitan. Mereka mempunyai kitab suci sendiri yang diberi nama Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan tradisional dan penghormatan terhadap warisan budaya nenek moyang berdiri di antara arus modernisasi dan agama resmi yang diakui negara. 9. Rumah hijau dan asri tanpa semen
Masyarakat Badui hidup tanpa teknologi modern, termasuk membangun rumah dengan bahan alami seperti kayu dan bambu tanpa semen. Hal ini membuat rumah mereka terlihat sangat hijau dan menyatu dengan alam sekitar. Pendekatan ini mencerminkan kesederhanaan, kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam dan keinginan untuk hidup harmonis dengan lingkungan.